07 Februari 2008

Restrukturisasi PLN

Belakangan ini terjadi polemik mengenai restrukturisasi PLN yang diamanatkan RUPS PLN, namun ditentang oleh Serikat Pekerja (SP) PLN. Kata SP PLN, itu hanya akal-akalan yang ujungnya untuk "menjual aset negara". Lalu mereka mengancam memadamkan listrik.

Begini arogannya ini SP? Petantang-petenteng mengancam memadamkan listrik? Listrik dimana yang dipadamkan? Di airport? Atau di klinik-klinik? Kantor polisi? Kantor pemadam kebakaran? Atau "hanya" rumah-rumah warga? (yang mungkin tidak penting dimata SP?)

Ngomong-ngomong restrukturisasi, saya rasa sebenarnya itu langkah yang cukup bagus, walaupun belum tuntas. (Tapi baru segitu saja sudah ditentang habis-habisan...)

Jadi rencananya (yang sementara ini jadinya gagal), unit-unit/anak-anak usahanya akan di spin off menjadi anak perusahaan. Dan yang seperti Indonesia Power, akan dilepas sebagian sahamnya agar menjadi perusahaan publik.

Kalau menurut saya, semua anak usaha harus jadi terpisah dan menjadi perusahaan publik.

Oooh, menjadi perusahaan publik? Tentunya mimpi sangat buruk bagi karyawan dan direksi... kinerja mereka akan terlihat!! Kinerja yang baik atau buruk, akan terlihat di koran melalui laporan keuangan!! Dan mungkin karyawan2 harus mulai kerja keras!! Betapa buruknya... hal-hal seperti inefisiensi bakal ketahuan oleh publik, benar-benar mimpi buruk...

Sebenarnya bentuk paling ideal dari BUMN pada umumnya adalah perusahaan publik. Jadi barangkali 60% pemerintah, 40% publik. Dengan begitu, masyarakat bisa melihat dan mungkin mudah2an nantinya mengkontrol atau paling tidak mengkritisi kinerja perusahaan tersebut. Akan susah untuk bermain-main di belakang layar, karena data-data akan dipublikasikan dan yang namanya direksi, ya harus benar-benar bertanggung jawab.

Khusus PLN sebagai penyedia utilitas (listrik), harusnya pemerintah disitu adalah pemerintah daerah. Jadi seperti yg sekarang ini PLN Distribusi Jawa Timur, misalnya, rasanya lebih masuk akal kalau Pemprov Jawa Timur yang menguasai mayoritas kepemilikan, sejalan dengan prinsip otonomi daerah.

Masing-masing daerah memiliki keunikan sendiri dan ini termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan listriknya. Tentunya kepala daerah yang (harusnya) lebih menguasai ini dan dalam era pilkada, bertanggung jawab kepada rakyatnya yang memilih. Jadi kalau listrik tidak beres, kepala daerah bisa "diminta pertanggungjawabannya" pada pilkada mendatang dengan tidak dipilih, karena pada waktu menjabat, ia memiliki kontrol terhadap PT PLN setempat.

Kalau sekarang, mana bisa rakyat di kota Bojonegoro, misalnya, meminta pertanggungjawaban Direksi PT PLN di Jakarta... jauh banget... paling banter nulis surat pembaca di koran. Tapi kalau strukturnya seperti saya usulkan diatas, bukan tidak mungkin untuk kampanye tingkat grassroot yang dimulai karena ketidakpuasan atas layanan kelistrikan, menggalang cukup dukungan untuk menggoyang petinggi2 listrik di daerah setempat, karena petinggi2 listrik tersebut punya boss di pemprov, dan kepala daerahnya, dipilih melalui pilkada, dan tentunya ingin dipilih lagi...

Tidak ada komentar: