20 April 2008

Indonesia: Pengimpor Minyak yang Pura-Pura Jadi Pengekspor

Judul diatas harusnya: Indonesia - Pengimpor Net Minyak yang saking ngebetnya kepingin jadi pengekspor, membohongi diri sendiri atas kemampuannya mengekspor, sampai bela-belain bergabung dengan klub eksklusif pengekspor yang mahal iuran anggotanya, agar kelihatan "gaya".

Mungkin sebenarnya Indonesia juga ekspor, tapi jumlah yang diimpor jauh melebihi yang diekspor. Boro-boro ekspor lalu dapat uang, untuk konsumsi sendiri saja tidak cukup. Makanya harus impor.
Bisa lihat data disini. Bandingkan dengan punya Arab Saudi - nah kalau mereka ini baru pantes jadi pentolan klub eksklusif tadi.

Sudah saatnya pemimpin-pemimpin di negeri ini mau mengakui, kalau:
  1. Negeri yang dipimpinnya ini minyaknya tidak cukup untuk diekspor
  2. Meniru-niru Arab Saudi tidak ada gunanya - cadangan minyak kita tidak ada apa2nya dibanding mereka
  3. Lebih bijak dan hemat kalau tidak usah ngotot ikut2an klub eksklusif yang iurannya mahal (dan dibebankan ke wajib pajak yang taat)
Disini ada tulisan Prof. M. Sadli. Cuplikannya sebagai berikut:

"Maka apa yang harus menjadi alasan kuat kalau Indonesia mau keluar dari OPEC? Sebetulnya tidak ada dasar yang kuat. Memang ada biayanya, yakni iuran OPEC yang $ 2 juta setahun, yang dulu dibayar Pertamina. “Biaya” lain adalah biaya waktu kalau menteri dan dirjen migas setiap kali harus menghadiri pertemuan OPEC. Indonesia merupakan negara pertambangan, akan tetapi hasil tambang minyak dan gas bumi jauh lebih penting (dalam ukuran pendapatan negara dan devisa) ketimbang pertambangan umum, seperti tembaga, emas, nikel dan bauxit.

Apakah keuntungan politik cukup besar? Ini subyektip. Tergantung apakah Indonesia memandang Timur Tengah penting? Sangat penting juga tidak, akan tetapi juga tidak bisa diremehkan. Maka mungkin kesimpulan adalah: sebetulnya pilihan, tetap menjadi anggota atau keluar, tidak terlalu penting. Karena Indonesia sudah telanjur menjadi anggota OPEC maka mungkin ada baiknya diteruskan saja. Kecuali kalau pimpinan Departemen ESDM mau kasih shock therapy kepada masyarakat Indonesia: awas lho, kita bukan net exporter minyak bumi lagi, maka hematlah pemakaian BBM. Apakah peringatan demikian efektip, sebagai argumentasi menaikan harga BBM, tatkala perlu, tidak bisa dipastikan.."

Catatan:
  1. Cetak tebal oleh saya
  2. Barangkali keadaan awal 2005 dan sekarang sudah berbeda (karena harga minyak membubung tinggi - sudah mencapai US$115), jadi pendapat Prof. Sadli mungkin juga berbeda sekarang - saya tidak tahu


Shock therapy! Ya, inilah yang diperlukan. Hey masyarakat Indonesia, kita bukan net exporter minyak bumi lagi! Dari anak-anak SD sudah harus diajari ini sekarang. Apakah peringatan demikian efektif, sebagai argumentasi menaikkan harga BBM? Kalau menurut saya, peringatan demikian tidak hanya sebagai argumentasi menaikkan harga... tapi sudah harus menjadi fundamental mindset masyarakat pada umumnya - bahwa Indonesia pengimpor minyak.

Tapi berhubung mau Pemilu, rasanya mereka-mereka ini tidak mau ambil resiko ambil kebijakan yang berani... apalagi shock therapy.

19 April 2008

Jangan Kencing Sembarangan...

Kencing sembarangan? Hati-hati! Bisa-bisa ditabrak kereta api...

Ini beritanya

Yang membingungkan, kenapa harus di rel kereta?