22 Mei 2008

Subsidi BBM: Bukan Pengeluaran Uang?

Saya sering melihat tulisan yang mencoba memberikan argumen bahwa subsidi BBM adalah bukan pengeluaran uang. Contohnya seperti ini, atau ini, dan masih banyak lagi yang lainnya. Argumen yang biasa dipakai adalah: Harga minyak naik, penerimaan negara juga naik, karena masih ada uang dari selisih jual antara premium (yang harganya ditetapkan pemerintah) dari hasil minyak Indonesia, yang masih lebih banyak dari uang keluar untuk menombok premium yang dibutuhkan, yang asalnya dibeli dengan harga impor.

Hitungannya kira-kira seperti ini: (dicuplik dari salah satu artikel tsb):
DATA DAN ASUMSI

Produksi : 1 juta barrel per hari

70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia
Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun
Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel
1 US $ = Rp. 10.000
Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel
1 barrel = 159 liter
Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter

PERHITUNGAN

Produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000
Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000
Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun 19,375,500,000
Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini
(19,375,500,000 : 159) x 100 x 10.000 121,900,000,000,000
Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri
40,624,500,000 x Rp. 3.870 157,216,815,000,000
Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel
Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar 35,316,815,000,000

Menurut website tersebut, artikel ditulis oleh Bpk. Kwik Kian Gie, yang berargumen bahwa pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar Rp 35 trilyun, dari hasil jualan premium di harga Rp 4500, sedangkan sebagian besar, walaupun tidak semua, bahan dasar premium tersebut harganya Rp 0, karena merupakan 'hak' bangsa Indonesia. (Apakah ini asumsi yang valid atau tidak, akan saya bicarakan di kemudian hari, karena perlu kita telaah lebih lanjut, apakah benar ada yang 'gratis' di dunia ini, apalagi di Indonesia.)

Yang saya ingin argumentasikan disini adalah: dengan perhitungan-perhitungannya, artikel tersebut sayangnya tidak mencoba menggambarkan keadaan sebenarnya.

Ya, memang, kalau dilihat dari matematikanya, memang betul - saya sendiri sudah coba cek dengan Spreadsheet. Tapi, argumen tersebut menurut saya, tidak mencoba memperlihatkan gambaran overall keuangan negara, namun hanya memperlihatkan sedikit saja, bahkan cenderung menyembunyikan (?) potret keuangan yang menyeluruh.

Mari kita lihat lebih lanjut dengan seksama data-data yang diberikan. Kita ambil artikel yang kedua, yang merefleksikan 'worst-case scenario' menurut Bpk. Kwik.

Konsumsi minyak Indonesia: 60 juta kiloliter/tahun, atau 377,39 juta barel/tahun.
Produksi minyak Indonesia: 339,28 juta barel/tahun.
Kekurangan minyak: 139,86 juta barel/tahun.
Uang untuk membeli minyak tersebut: Rp 152,73 trilyun.
Sedangkan penerimaan negara dari minyak: Rp 203 trilyun, jadi masih selisih positif.

Nah, lalu apa yang tidak ditampilkan oleh Bpk. Kwik yang menurut saya adalah kunci untuk mengerti gambaran seluruhnya? Jawabannya bisa dilihat dari jawaban pertanyaan: Berapa Rupiah yang harus dikeluarkan Indonesia untuk kenaikan harga minyak dunia sebesar 1 US Dollar?

Dari data-data yang ada di atas, maka jawabannya adalah Rp 1,2 trilyun. Jadi misalnya minyak naik $10, yang harus dikeluarkan Indonesia adalah Rp 12 trilyun. Apakah penerimaan negara yang Rp 203 trilyun tadi naik? Tidak banyak - karena penerimaan negara tersebut paling besar asalnya dari selisih jual harga BBM bersubsidi dengan ongkos produksi dari minyak yang merupakan 'hak' bangsa Indonesia tadi - menurut Bpk. Kwik, yaitu Rp 4500 - Rp 630 = Rp 3870 per liter premium yang dijual.

Mari kita lihat gambar keseluruhan. Jadi, kalau minyak naik 1 dollar, taruhlah Rp 1 trilyun yang kita harus bayar ekstra. Kalau misalnya pada anggaran negara secara keseluruhan tahun 2006, misalnya, belanja negara sama dengan pendapatan negara (alias impas) pada saat minyak $80, begitu minyak naik $40, maka belanja negara naik Rp 40 trilyun, sedangkan pendapatan tidak naik.

Tentunya belum pernah terjadi belanja negara sama dengan pendapatan negara, yang ada adalah selalu minus, belanja lebih besar dari pendapatan, dan selisihnya ditutupi oleh utang (baik dalam negeri maupun luar negeri). Jadi, misalnya, pendapatan Rp 350 trilyun, belanja Rp 400 trilyun, jadi defisit Rp 50 trilyun, yang ditutup dengan utang. Perhatikan bahwa ini gambar keseluruhan, jadi pendapatan sudah termasuk dari pendapatan migas, pajak, dst, dsb, termasuk kelebihan uang dari jual premium berbahan minyak 'hak bangsa Indonesia' tadi.

Apa yang akan terjadi kalau harga minyak naik, misalnya $10? Tentunya, defisit anggaran yang Rp 50 trilyun tadi, akan naik Rp 10 trilyun, menjadi Rp 60 trilyun, bukan? Jadi, bahwa ada penerimaan negara dari minyak, tidak secara langsung berhubungan dengan defisit anggaran, karena ada penerimaan-penerimaan lain, dan belanja-belanja yang tidak ada hubungannya dengan subsidi BBM, yang sama bahkan lebih penting.

Benar atau salah?

Tidak ada komentar: