04 Mei 2008

Kota Idamanku

Apa bedanya Jakarta dengan kota-kota besar yang terkenal di dunia? Kalau anda jalan-jalan ke kota-kota yang terkenal di dunia, seperti Paris, New York, Tokyo, sebagai contoh, yang paling terasa bedanya adalah banyaknya pejalan kaki. Ribuan pejalan kaki dapat dilihat setiap saat di Champs-Élysées di Paris, atau di Fifth Avenue di New York, atau di daerah Ginza di Tokyo, misalnya. Pejalan kaki dimanjakan dengan trotoar yang lebar, bebas dari sampah, genangan air atau lumpur yang becek, con block yang tidak rata, dan banyak lagi yang kita sebagai orang Indonesia bisa bayangkan.

Di Jakarta, dapat dikatakan hampir tidak ada tempat yang nyaman untuk jalan kaki. Ada beberapa kawasan kecil yang cukup baik, seperti kawasan SCBD atau Mega Kuningan. Disana, trotoar pejalan kaki tertata cukup rapi dan rata, tidak terlalu banyak angkot atau bus dengan knalpot beracunnya. Walaupun begitu, tetap saja tidak banyak yang berjalan kaki disana, hanya untuk berjalan kaki menikmati pemandangan siang hari, ataupun malam hari. Macam-macam alasannya. Nomor satu, barangkali adalah panas. Jalan kaki 100m jam 11 siang? Hmm... rasanya kalau bisa kita hindari, ya kita hindari. Nomor dua, memang tidak banyak yang bisa dilihat oleh pejalan kaki.

Kalau bicara iklim panas, Singapura tidak kalah panasnya, namun tentunya jalan kaki sangat nyaman di Singapura... sebut saja Orchard Road, Boat Quay, kawasan Chinatown, Civic Centre, masih banyak lagi. Sama-sama panas, tapi ada pohon-pohon, lalu ada portico gedung-gedung yang bersambungan, jadi terasa cukup teduh. Kuala Lumpur, tidak kalah panasnya pula, namun walau 10 tahun lalu mungkin sama seperti Jakarta, mereka sudah lebih dulu berbenah - ada Bintang Walk, lalu dari situ anda bisa agak nyaman jalan sampai ujung jalan Bukit Bintang.

Lalu, apa dengan menanam pohon-pohon, urusan selesai? Tentunya tidak, karena ini akan membawa kita ke alasan kedua: Tidak ada yang dilihat waktu jalan. Jadi karena tidak ada yang dilihat, ya tetap saja sepi.

Contoh: Mega Kuningan. Coba anda jalan kaki dari Gedung RNI di pojok perempatan Jl. Denpasar Raya dan Jl. Mega Kuningan, ke Hotel Ritz Carlton di Lingkar Mega Kuningan. Trotoar lumayan bagus, rata, dan nyaman, walau tidak lebar. Pohon? Ada beberapa di sebelah kiri jalan. Tapi, tidak ada kursi untuk duduk sejenak, atau toko yang jendelanya bisa dilihat, atau tempat beli minum, atau tempat sampah untuk buang sampah. Tengok kiri kanan, yang pertama menyapa adalah tempat parkir, baru dibelakanganya ada gedung atau ruko. Sampai di Hotel Ritz Carlton, mudahkah masuk ke lobi? Tentu tidak! Lobi didesain untuk pengunjung bermobil. Jauh beberapa lantai diatas level trotoar pejalan kaki.

Ya, memang Jakarta bukan didesain untuk pejalan kaki, karena semua pihak yang membangun, termasuk arsitek perancang gedung, pengelola kawasan, pemerintah kota, sudah terlanjur mengutamakan mobil. Tentunya tidak heran kalau mobil bertambah terus, dan Jakarta makin hari makin macet. Bahkan hal sepele seperti batas kavling, ikut berkontribusi menambah kemacetan. Batas kavling gedung, karena berbagai alasan, yang akhirnya semuanya menjadi justifikasi yang valid dengan alasan semua orang bermobil, selalu dipasangi tembok.

Di Jalan M.I. Ridwan Rais, deretan gedung PLN Disjaya, Kedubes Vatikan, dll., ada beberapa gedung baru yang saling berdempetan. Ada gedung Departemen Perdagangan, ada gedung KPP. Gedung-gedung bagus, tapi sayangnya, jika anda perhatikan, antara gedung-gedung tersebut dipisahkan tembok. Nah, sebenarnya bisa saja kalau gedung-gedung tersebut dihubungkan oleh area terbuka.

Kalau saya lihat, sangat mudah, karena disisi kanan dan kiri tembok pemisah, memang sudah ada area terbuka. Dengan tidak ada tembok pemisah, orang-orang di gedung satu bisa ke gedung lainnya, tanpa harus melewati jalan besar. Bayangkan pada saat jam makan siang, orang yang ingin pergi ke gedung sebelah, bisa jalan kaki kalau tidak ada tembok. Mungkin juga bila tidak ada tembok, di ruang yang terbuka tersebut akan ada stand penjual kopi/majalah, atau kantin koperasi karyawan. Bila diatur rapi, ditanam beberapa pohon untuk meneduhkan, dan ditambah beberapa kursi, jadilah tempat makan siang yang cukup nyaman bagi orang kantoran.

Tentunya ini tidak terjadi, malah dengan tembok pemisah, untuk ke gedung sebelah untuk makan siang, misalnya, mungkin banyak orang yang akan memilih naik mobil dan menambah macet jalanan.

Kalau diperhatikan, semua gedung di deretan Jl. Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto, memiliki kesalahan serupa. Contoh: Pegawai di Plaza Permata, barangkali ingin ke Hotel Nikko untuk makan siang dengan klien, namun ada tembok pemisah. Mau jalan, mau tidak mau harus ke trotoar. Jadi yang bersangkutan mungkin lebih memilih naik mobil dan menambah macet Jl. Thamrin.

Kalau tembok-tembok pemisah di deretan gedung Jl. Thamrin dan Sudirman, dibuang dan area batas kavling gedung di desain ulang untuk memudahkan orang jalan dari satu gedung ke gedung lain, barangkali kemacetan di jalan utama tersebut bisa berkurang secara signifikan.

Tidak ada komentar: